Memahami konsep bunga simpan pinjam

Beberapa waktu lalu saya menghabiskan waktu mengobrol-ngobrol dengan seorang pengusaha tambang. Beliau memiliki belasan properti di Jakarta, dan tanah ratusan hektar di daerah.

Beliau tipikal orang kaya jaman dulu, tiap ada rejeki uangnya langsung dibelikan properti. Namun saat ini dia sedang bingung mau investasi kemana duit nganggurnya, secara properti kurang bagus, kalau saham dia takut terlalu fluktuatif.

Saya bilang pada beliau “Kenapa ga beli obligasi saja pak? Kalau Obligasi pemerintah bisa dapat 6%, sementara obligasi korporasi BUMN kayak PLN gitu bisa dapet 7% bunganya setahun.. Lalu kata dia “Waaah kecil bangeeet ituu, dulu saya deposito bisa dikasih 11% bunganya. Kalau sekarang yang lagi bagus itu minjem ke bank, bunganya kecilan”

Mendengar dia ngomong gitu saya langsung ngebatin dalam hati, kok bisa ya orang macam gini jadi kaya raya, Itu tahun berapa boss!! Bisnis lembaga keuangan seperti bank kan simpan pinjam. Masyarakat menyimpan di bank dengan imbalan bunga, lalu dana tersebut disalurkan lagi oleh bank sebagai pinjaman dengan bunga yang lebih tinggi.

Kalau dibilang bunga pinjaman sekarang turun, yauda pasti bunga simpanan turun juga. Kan bisnis bank ambil untung dari selisihnya Kalau kita buat urutan besaran bunganya untuk peminjam maka seperti ini urutannya:

BUNGA KREDIT MIKRO >> UMKM >> KORPORASI

Secara teorinya semakin rendah kredibilitas peminjam maka bunga pinjaman yang harus dibayar semakin tinggi sebagai konsekuensinya Rendahnya kredibilitas dapat diartikan peminjamnya orang kecil (mikro), tidak punya badan hukum, tidak ada dokumentasi yang baik. Sementara yang dianggap kredibel adalah korporasi besar.

Sementara peminjam besar terkadang menciptakan permasalahan tersendiri. Karena statusnya yang besar mereka memiliki daya tawar yang kuat, dan dapat menciptakan conflict interest.

Contoh saja sebelum pandemi, kasus meningkatnya kredit macet yang menimpa perbankan malah banyak disebabkan saluran kredit ke korporasi ini Poin lain yang perlu kita pahami adalah para peminjam yang tidak “Bankable” Misalnya Peer to Peer Lending. Ketika kita berinvestasi di P2P, maka dana tersebut disalurkan untuk para peminjam yang tidak “bankable” ini.

Karena mereka tidak memiliki persyaratan badan hukum atau dokumentasi yang baik disyaratkan bank tidak berarti mereka mengerjakan bisnis yang buruk. Kalau peminjam di P2P bisa mendapat akses pinjaman ke perbankan yang bunganya jauh lebih murah, tentu saja mereka akan memilih meminjam kesana. Namanya juga bisnis, pasti nyari modal usaha yang paling murah.